Selasa, 17 Maret 2009

bukan teorinya....

Pada suatu hari seorang teman mengirim pesan singkat menanyakan tentang apa definisi alat peraga (dalam konteks pembelajaran). Ia seorang guru pada sebuah sekolah yang menjadi binaan saya. Sejenak saya meluangkan waktu untuk memikirkan jawaban apa yang sebaiknya saya sampaikan. Terlintas dalam benak saya apalah arti sebuah difinisi alat peraga dikuasai oleh seorang guru jika guru itu kemudian tidak pernah menggunakan alat peraga dalam mengelola pembelajaran?
Bertolak dari pertimbangan tersebut, saya mencoba bersikap arif menurut ukuran saya sendiri sebagai seorang 'orang tua' memberikan pemahaman kepada 'anaknya'. Jawaban saya sama sekali tidak mengacu pada pendapat atau teori dari ahli mana pun, kecuali dari keyakinan diri sendiri sebagai seorang praktisi pendidikan yang sudah lebih dari seperempat abad menjadi guru.
"Alat peraga adalah alat bantu pelajaran yang digunakan oleh guru dalam pembelajaran dengan tujuan memudahkan pemahaman siswa atas sebuah teori, konsep, fakta atau yang sejenisnya", jawab saya sederhana. Saya berfikir, dengan jawaban tersebut telah terbayang dalam benak kita bahwa alat peraga akan memiliki fungsi sebagai alat untuk membantu pemahaman atas apa yang sedang dipelajari siswa.
Beberapa hari kemudian setelah melalui berulang kali 'sms' guru tersebut menunjukkan kitidakpuasannya atas jawaban saya. Tentu saja saya sedih karena tidak dapat memuaskan seorang guru yang saya pandang cukup kritis dan berani secara terbuka menanyakan sesuatu yang berhubungan erat dengan profesinya sebagai seorang guru. Tetapi bukan hanya itu, saya juga menjadi sedih karena saya meyakini teman saya ini lebih suka 'berdebat' pada wilayah teori yang sebenarnya bukan wilayahnya sebagai seorang praktisi.
Saya tidak bermaksud menganggap tidak penting sebuah teori, tetapi teori hanyalah sebatas teori yang harus dibuktikan kebenaranya. Dalam konteks ini, seorang guru, menghafal definisi tentang alat peraga tentu tidak lebih penting daripada menggunakan alat peraga dalam pemebelajaran. Seorang petani tradisional tidak pernah belajar bagaimana bertani yang baik. Tetapi melalui pengalamannya bercocok tanam mereka belajar dan bisa menjadi petani yang produktif. Kita tidak pernah dapat bersepeda jika hanya menghafalkan teori bagaimana cara bersepeda. Tetapi kita bisa bersepeda karena kita membawa sepeda ke luar, mencoba menaikinya, jatuh-bangun dan akhirnya kita mampu mengendarainya dan makin lama makin mahir.
Kehebatan ucapan menghafal sesuatu bukanlah segala-galanya. Banyak sekali momen dalam kehidupan ini yang langsung dapat dimengerti dan tidak harus melalui perdebatan atau adu argumentasi. Literatur diakui sebagi bagian dari sumber belajar yang penting, tetapi pengalaman juga banyak memberikan kepada kita pelajaran yang sangat berharga. Harus diakui pegetahuan sampai kepada kita tidak cuma melalui anak tangga argumen dan perdebatan teoritis yang berkepanjangan.
Mangkunegara IV dalam kritiknya mengatakan: pongahnya orang yang pintar teori tetapi tak paham bahwa nglemu iku kelakone kanthi laku... "Tinggalkan pikiran rumit itu agar dapat melihat jawab yang tersembunyi. Diamlah dari kata-kata, agar memperoleh percakapan abadi". Itulah kata-kata Jalaludin Rumi (abad:13). "Ia yang tak mencicipi, tak mengetahui", katanya pula, sebagaimana dikutip dalam The Sufist oleh Idries Shah (Goenawan Mohamad, Tempo, 16 Oktober 1976).
Saya berkeyakinan, sebagai seorang praktisi tugasnya bukan menghafal teori tetapi begaimana membuktikan kebenaran teori melalui praktik yang baik. Dengan sering menggunakan alat peraga dalam praktik pembelajaran, seorang guru akan mengerti dengan sendirinya apa sebenarnya hakikat alat peraga tersebut. Lakukan sesuatu, meskipun kita hanya berbekal sedikit teori.
Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar: