Selasa, 09 Desember 2008

Contoh dari Pak Mujiman

Mujiman, demikian nama yang diberikan orang tuanya, sejak kecil bercita-cita menjadi guru. Tetapi karena orang tuanya tak mampu membiayai sekolah akhirnya Mujiman kecil "dipaksa" masuk sekolah teknik (pada waktu itu namanya ST)yang pada saat itu tidak mungkin melanjutkan ke sekolah guru. Setamat dari ST, Mujiman tidak melanjutkan alias nganggur.
Mungkin karena doa-doanya dan cita-citanya jadi guru didengar Tuhan, ndilallah pada saat itu ada kesempatan menjadi guru melalui "kursus kilat" (pada saat itu terjadi kekurangan guru sangat banyak pasca peristiwa G 30 S/PKI). Jadilah Mujiman muda seorang guru.
Sekarang Pak Mujiman telah pensiun. Banyak pelajaran yang dapat saya ambil dari kehidupan Pak Mujiman sebagai seorang guru. Pada awalnya saya agak menganggap rendah kemampuan beliau. Setelah lama bekerja bersama di sebuah sekolah sadarlah saya akan banyaknya pelajaran yang bisa saya petik.
Salah satu contoh yang saya kagumi dari beliau adalah kedekatannya dengan murid-murid. Setiap kali bertemu dengan murid beliau selalu menebarkan senyumnya, dan terlihat sangat ikhlas. Pak Mujiman dikenal sangat pendiam, tetapi sangat teliti dan sangat berhati-hati dalam setiap tindakannya. Sering kali kami yang jauh lebih muda tidak sabar dengan beliau. Tetapi sering kali pula kami tersipu malu ketika tahu bahwa apa yang disarankan beliau ternyata lebih baik jika dilakukan. Pak Mujiman sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi. Jadi guru saja karena beruntung pada saat itu negara kita sangat kekurangan guru. Tetapi Pak Mujiman dapat menjadi guru yang baik dan patut menjadi teladan bagi teman-temannya dan murid-muridnya.
Pada saat mengajar, Pak Mujiman jarang sekali kelihatan keluar kelas meninggalkan murid-muridnya. Beliau sangat tekun mendampingi murid-muridnya belajar. Ketika menerangkan hal baru kepada murid-muridnya, beliau menyampaikannya dengan suaranya yang jernih, mudah dimengerti karena disampaikan secara perlahan dan runtut. Beliau selalu menghubungkan isi pelajaran dengan kehidupan nyata sehingga murid-muridnya mampu dengan mudah menarik hubungan antara apa yang dipelajari dengan apa yang pernah dan mungkin akan terjadi dalam kehidupan mereka.
Pak Mujiman mempunyai kebiasaan merokok, dan menurutku beliau termasuk perokok berat. Tetapi hebatnya, beliau tak pernah merokok ketika berada di ruang guru apalagi di dalam kelas. Mengenai ini beliau mengatakan, "kita boleh punya kebiasaan yang sangat kita senangi, tetapi jangan lakukan kebiasaan itu jika sekiranya akan mengganggu orang lain". Dengan senyum khasnya, beliau menyampaikan 'pesan' tersebut kepada saya bak seorang ayah yang sedang menasihati anaknya.
Kebiasaan kami pada saat istirahat, berkumpul di ruang guru dan ngobrol 'ngalor - ngidul' layaknya saudara yang sudah lama tak bertemu. Karena yang dibicarakan sama sekali tidak ada hubungannya dengan profesi kami sebagai guru, maka saya menyebutnya ngobrol. Topik yang paling sering dibicarakan adalah tentang arisan, model baju, resep masakan, dan lain - lain tergantung trend saat itu. Tetapi ada satu topik yang tidak pernah mengenal trend dan hampir setiap hari dibicarakan adalah pembantu rumah tangga masing - masing (maklum, kecuali saya dan Pak Mujiman semua teman kami perempuan dan sudah berumah tangga). Pada saat - saat begini kadang - kadang saya terpancing ikut nimbrung. Ketika salah seorang teman kami menggoda Pak Mujiman agar ikut berbicara, Pak Mujiman hanya tersenyum.
Pada suatu hari saya dengan hati-hati mencoba menanyakan pendapat beliau tentang kebiasaan teman - teman kami. Apa jawab beliau? "Tidak apa-apa, pada suatu saat cerita itu akan habis dan tak ada lagi yang akan mereka ceritakan." Saya tidak faham dengan jawaban beliau. Saya yakin ada yang disembunyikan dalam jawaban tersebut. Karena penasaran, pada suatu hari saya tanyakan perihal maksud jawaban yang tak kumengerti. "Kita memang di sini untuk bekerja, tetapi tidak berarti dilarang berbicara. Yang baik memang sedikit bicara banyak kerja, tetapi itu tidak mudah. Setiap hari saya sebenarnya sedang belajar sedikit bicara banyak bekerja". demikianlah jawaban beliau. Pak Mujiman yang pendiam ternyata sedang belajar lebih banyak bekerja daripada berbicara.

Tidak ada komentar: